Semesta
yang Hilang.
Oleh
: Fajar Ramadhan
Suatu ketika di tahun 2018.
Gerimis masih setia membasahi bumi, aku yang berada di
dalam kedai kopi, duduk dengan gusar sambil menunggu seseorang. Takut jika ia
tiba-tiba membatalkan janji. Kususun kata-kata untuk nanti ketika ia sudah
datang. Ku edarkan pandanganku ke seluruh sudut kedai ini, dan lengkungan di
bibirku terbit, ketika melihat dari arah pintu masuk, seseorang yang aku tunggu
datang. Aku melambaikan tangan padanya. Ia tersenyum manis, berjalan
mendekatiku, lalu menyapa,
“Hei, maaf aku terlambat,” ia melirik arloji
ditangannya, “terlambat 5 menit. Sudah lama?’
Aku menggeleng, “Belum lama banget sih. Gak papa juga,
santai aja. Apa kabar?”
“Kabar baik. Kamu?” tangan gadis itu terangkat, bermaksud
untuk memanggil pelayan.
“Satu frappe ya, mas.”
“Baik juga, kok.” Tiba-tiba aku merasa kosong.
“Katanya tadi mau bicara sesuatu. Bicara apa?” Aku
terdiam, kata-kata yang telah kususun tiba-tiba menguap. Menghilang dari
otakku. Ia menatapku, menunggu bibirku mengatakan sesuatu.
“Kalo yang penting, lusa aja sih aku bakal ngomong ke
kamu. Terus yang satu lagi, aku mau pergi mendaki di Pangerango. Ekspedisi sama
anak Eiger.”
Kutatap matanya berbinar terang, “Aku mau ikut dong,
Ver. Pengen kesana.”
“Aku gak ngajak kamu tau.” Aku tertawa, kemudian
berdeham, “Soalnya masih jarang ada pendaki yang kesana. Ekspedisinya juga buat
nyari jalan. Biar para pendaki yang lain tahu.”
“Ver, yakin mau kesana? Tau kan informasi yang beredar
tentang gunung itu?.”
“Udah tau kok.” Aku menyesap americano-ku yang mulai
dingin.
“Udah tau sendiri kan itu jalur yang jarang dilewati
sama pendaki. Banyak yang bilang juga ada macannya disana, belum lagi yang
mistis-mistis gitu. Gak ah, gak boleh.” Aku menangkap ada nada khawatir yang
sangat kentara dalam kalimatnya.
“Tenang aja ya, aku ga berangkat sendiri kok. Ada yang
lain juga. Ditambah, nanti di puncaknya bakal aku kasih sesuatu buat kamu.” Aku
tersenyum meyakinkan gadis itu.
“Tenang, tenang. Mau tenang gimana orang tau sendiri
kan bahaya, masih nekat aja kesana. Jangan ya, Ver.” Aku hampir tertawa, ketika
muka gadis itu dibuat memelas.
Aku hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi pelayan
datang dan mengintrupsi obrolan kami berdua. Pelayan itu meletakkan secangkir
latte yang dipesan Gleeva.
“Terima kasih.” Ucap Gleeva, ramah. Kutatap gadis itu,
ia menyesap minumannya. Enggan menatapku balik. Dia merajuk, aku tersenyum
penuh arti.
“Hei, Gleev.”
“Hmm.”
“Gleeva cantik, maaf ya. Kamu izinin atau enggakpun
aku bakal tetep kesana. Jujur aja, aku pengen nantang diriku sendiri disana.
Toh, semua peralatan udah aku kasih ke basecamp.”
“Iya pergi aja, gak papa.”
Masih merajuk.
“Gleev, liat aku coba.” Aku menunggu tanpa mengulurkan
tanganku ke pipinya. Satu aturan darinya sejak kami mulai mengenal satu sama
lain, dilarang bersentuhan. Dengan perlahan, tatapannya mulai diarahkan ke
mataku.
“Gleev, kamu marah?” hening. Gadis itu masih tidak
bergeming.
“Gleeva, jangan marah ya. Aku ga suka deh kamu marah.
Manisnya luntur.” Aku mengerling ketika dia menatapku tajam.
“Yaudah, Ver. Terserah kamu deh. Tapi janji ya sama
aku.”
“Janji apa?”
“Janji kalo kamu bakal pulang dengan selamat?”
Aku mengangguk mantap, “Aku janji.”
Gadis itu mulai menyesap kembali latte-nya, aku
kembali mengedarkan pandanganku. Tampak diluar sana, langit mulai cerah setelah
gelap menguasainya. Mentari juga kembali dari tempat persembunyiannya. Hujan
sudah pergi rupanya. Aku beranjak dari tempat dudukku, mengajak gadis itu
keluar dari sini, lalu membawanya pulang.
Lusa yang dinanti.
“Le, iki meh neng endi to?” Terlihat ibuku menatap
dengan penuh tanda tanya.
“Udah buk, tunggu aja nggih. Bentar lagi sampai kok.”
Pak, bentar lagi sulungmu ini akan menyunting seorang
wanita. Seandainya saja, bapak masih disini. Apa bapak bakal seneng? Aku
menatap langit, seolah-olah sedang mengobrol dengan bapak.
Setengah jam kemudian, kami sampai tujuan. Rumah
berwarna cokelat sudah tampak didepan mata kami. Aku membantu ibu berdiri.
Berjalan bersama menuju pintu rumah itu. Jantungku mulai berdegup ketika
tanganku mengetuk pintu rumah. Seorang wanita paruh baya dengan kerudung
berwarna merah hati menyapaku hangat.
“Nak, Verdi! Ini ibuknya Verdi?” Wanita yang kukenal
sebagai Tante Salma itu memeluk ibuku dengan ramah.
“Kenalin, Buk. Saya Salma.”
“Buk Salma, saya Dina. Ibuk Verdi.”
“Mari-mari masuk dulu.”
Setelah kami semua duduk di ruang tamu. Seorang
laki-laki bertubuh besar dan tinggi, muncul dari dalam rumah. Om Jefri.
“Pa, ini keluarga Verdi datang.”
“Ada apa ini, nak Verdi?” Om Jefri duduk diseberang
sana. Jantungku semakin berdegup, aku gugup sekali.
“Tujuan saya kesini, dengan membawa ibuk saya. Mau
melamar anak om. Gleeva.” Tampak mereka sangat terkejut mendengar perkataanku.
Om Jefri mengangguk mafhum, “Om mengenal kamu dengan
baik, Ver. Jadi, kalo om sih setuju aja. Tapi, keputusan akhir ya tetap
ditangan Gleeva. Nah, mama sekarang coba panggil Gleeva kesini.”
Perkataan om Jefri membuatku sedikit tenang, entah
kenapa sepertinya Gleeva akan mengiyakan lamaranku. Dan, dia datang. Berjalan
dengan raut muka yang aku tidak bisa aritkan. Terbesit sedikit perasaan aneh di
dadaku. Tapi segera kutepis.
“Ini mbak, temen kamu. Verdi, dia ngelamar kamu.
Astaga, anak mama udah gede sekarang ya.” Kata-kata tante Salma membuat semua
orang yang diruangan ini tertawa. Terkecuali aku dan gadis diseberang sana.
“Jadi mbak gimana? Mau apa gak?” tanya om Jefri. Aku
menatap dia lekat. Berharap banyak pada takdir.
“Aku tau, Verdi orangnya baik. Baik banget malah.
Menghormati aku juga.” Perasaan aneh tadi muncul kembali, aku menarik nafas
dalam-dalam berusaha tetap tenang.
“Tapi, maaf banget. Ma, pa, tante Dina, Ver. Aku
gabisa nerima.”
Sesuatu yang perih tercipta disana.
“Tapi mbak, kan bisa dijalanin dulu. Kalian juga
sering kan bareng-bareng gitu.” Bujuk tante.
Aku tersenyum, “Gak papa tan, om. Perasaan ga bisa
dipaksa. Saya hormati keputusan Gleeva. Anggep aja ini baru percobaan pertama.
Besok-besok bakal saya coba lagi sampe Gleeva capek dan akhirnya setuju.”
Ucapku berusaha bercanda.
Ah, aku teringat sesuatu.
“Oh iya, tan, om, buk. Sekalian saya mau pamitan juga,
besok pagi, saya berangkat mendaki ke Pangerango. Minta restunya semoga
lancar.” Aku mencuri pandang ke arah Gleeva yang tetap menundukkan kepalanya.
Aku beranjak dari dudukku, mendekati arah om Jefri dan tante Salma untuk
bersalaman. Tak lupa juga aku mendekati gadis manis itu.
“Gleev, aku pamit ya. Jaga diri selama aku mendaki
besok. Assalamualaikum.”
Aku berjalan menjauhi kediaman Gleeva, membantu ibuk
berjalan kembali. Berusaha meninggalkan rasa perih itu disini lalu tersenyum.
Gleev, aku bakal nunggu kamu.
Pagi menyingsing, aku menatap arlojiku. Keluar dari
kamar, lalu berpamitan dengan ibuk. Berjanji akan pulang dengan selamat. Dan
pergi menuju basecamp. Sampai disana, kulihat para pendaki yang akan berangkat
pagi ini telah berkumpul sambil menantiku.
“Lama bener ni bocah.” Ucap salah seorang temanku.
Aku mengabsen satu per satu kawanku. Ada Toni, si kembar
Gian dan Bian, Boboho (nama aslinya Putra. Dipanggil boboho mungkin karena
kepalanya yang botak, mirip pemain boboho.) Rasaya dan terakhir Haris. Kami
berdelapan langsung memasuki mobil untuk melakukan perjalan ke desa yang berada
tepat di lereng gunung Pangerango. 8 jam melakukan perjalanan, akhirnya kami
sampai di desa tersebut. Karena penat menguasai tubuh, kami memutuskan untuk
beristirahat di salah satu rumah warga desa tersebut. Namanya, Pak Tisna.
Disini, kami disuguhi beberapa makanan yang mampu membuat perut kami kenyang.
Selepas itu, kami bersama pamit kepada warga desa. Tapi siapa sangka, empat
warga desa yang bernama Dadang, Asep, Ucup, dan Koswara justru mengajukan diri
untuk mendaki ke gunung tersebut. Katanya, jarang-jarang warga desa mereka
berani untuk mendaki hingga puncak. Kami dengan senang hati menerima mereka.
Perjalanan kami pun, benar benar dimulai. Kami
mengambil rute mendaki yang biasanya digunakan oleh para warga desa. Perkiraan
perjalanan yang kami tempuh sekitar 12 jam. Lumayan lama dari yang aku kira.
“Mas namanya siapa? Saya lupa tadi padahal udah
kenalan ya.” Aku tebak yang bertanya padaku itu, Haris.
“Saya Verdian. Panggil aja Verdi. Mas namanya Haris
bukan?” Jawabku ramah.
“Wah, mas inget nama saya ya, hehe. Mas sering muncak?”
Mataku tetap fokus pada medan yang kian curam,
sementara bibirku mengobrol dengan Haris.
“Iya sering, enak sih ke gunung. Bikin ketagihan.” Aku
jadi teringat pada pengalaman pertamaku waktu mendaki gunung. Tanpa pengalaman
juga persiapan mental yang cukup, hanya bermodal janji pada seorang kawan. Aku
memutuskan ikut mendaki ke puncak tertinggi di Jawa. Mahameru. Sempat terpikir
untuk menyerah karena hipotemia juga maag kronisku sering kumat saat disana.
Tapi karena janji lebih penting, aku meluruskan lagi niatku disini dan ketika
aku berhasil menjejakkan kakiku di puncak. Hatiku berdesir bangga juga haru.
Seorang yang dulunya sangat benci untuk mengiyakan ajakan kawan lain mendaki,
sekarang justru malah mencintainya. Dari puncak aku bisa paham bahwa manusia
itu tetap kerdil tapi bersikap sombong seolah dirinya paling agung di muka bumi
ini.
“Mas hati-hati loh.” Aku mengangguk, lalu kembali
fokus pada medan yang semakin curam.
Temaram mulai menyelimuti bumi Nusantara memaksakan
kami semua untuk beristirahat. Beberapa dari kami mulai bekerja sesuai tugas.
Aku dan Rasaya mencari kayu bakar, Haris, Boboho, dan yang lain bertugas
membuat tenda dan menyiapkan masakan. Sambil mencari kayu bakar. Aku menghitung
perjalanan kami tersisa 6 jam lagi untuk mencapai puncak. Selepasnya
membersihkan diri dan makan, aku merebahkan diri. Menatap langit-langit tenda.
Rindu merebak dalam hatiku. Teringat bayang-bayang gadis yang kucinta. Sedang
apa dia disana? Apakah aku benar-benar tidak berada dalam hatinya? Kusingkirkan
segala pikiran itu, dan berusaha terbang bersama mimpi.
Pukul 01.11, aku terbangun ketika merasa bahwa
seseorang membangunkanku. Aku segera merapikan diri, memeriksa kembali
carrier-ku takut ada yang tertinggal. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami
berkumpul memanjatkan doa agar dimudahkan perjalanan kami di gunung antah
berantah ini. Walaupun kantuk masih menguasai tubuhku, aku berusaha mengusirnya
dan fokus berjalan. Terkadang hujan gerimis membasahi tanah dan hal itu membuat
bebatuan menjadi licin. Salah pijakan saja kami bisa-bisa terjatuh ke jurang
disebelah kanan kami. Oleh itu, kerja sama tim benar-benar dibutuhkan.
Aku merasa jantungku kian berdegup ketika salah
seorang dari kami mengatakan bahwa puncak tinggal 500 meter lagi. Kulihat
kembali arlojiku, menunjukkan pukul 04.43. Sang fajar masih menunggu kami
dengan setia di seberang sana sebelum kami benar-benar menunjukkan diri di
puncak. Dan, akhirnya kakiku menapaki sang puncak. Rasa bangga dan bahagia
kembali bergemuruh didalam hatiku. Aku bergegas mengeluarkan kamera DSLR juga
tripod dari carrier-ku.
“Mau ngapain pake kamera segala, Ver?”
“Mau bikin sesuatu buat sang pujaan hati.” Goda Bian.
Kurang ajar.
Aku tersenyum simpul sambil menata kembali peralatan
yang akan aku gunakan nanti.
05.01. Aku menyiapkan diri, posisiku kuatur sedemikian
rupa agar menimbulkan kesan yang apik. Selepas itu, aku mengatakan beberapa
kata hingga dirasa cukup, aku mematikan kamera, merapikannya, lalu
memasukkannya kembali dalam carrier-ku. Kakiku kulangkahkan mendekati para
pendaki yang lain. Bercengkerama dengan segelas kopi hangat yang barusan aku
buat. Fajar telah disuguhkan didepan mata kami. Begitu indah dan sangat
disayangkan jika dilewatkan begitu saja.
Satu jam telah berlalu, hingga kami memutuskan untuk
turun dari puncak. Diperjalanan menuju bawah, kami sangat mudah menemukan jalan
pulang. Sebab saat kami menuju ke atas, beberapa orang dari tim bertugas
memasang tanda untuk memudahkan tim Eiger pusat dan pemerintah daerah dalam
pembuatan jalur resmi. Aku melangkahkan kakiku dengan ringan. Tak sabar untuk
segera turun dan kembali pulang. Melihat sang gadisku tercinta. Lengkungan
tipis kembali terukir saat pikiranku melayang pada pertemuan kami. Saat dia yang
tak sengaja mengucapkan nama terakhirku. Saat dia tersenyum manis mengucapkan
namanya yang apik.
Tapi sial, saat aku termenung mengingat beberapa
kenangan. Kakiku salah memijak yang mengakibatkan tubuhku terguling di bagian
medan yang lumayan curam. Kepalaku terantuk batu. Dan aku baru sadar tentang
sesuatu yang paling kuhindari selama 24 tahun ini. Penyakit sialan. Aku meraba
bagian kepalaku tadi, kurasakan sesuatu yang basah dan saat itu juga tercium
bau anyir. Ternyata selain kepala, kakiku juga terluka. Double kill. Beberapa
kawanku berusaha menahan keluarnya cairan merah itu. Tapi aku rasa, nihil. Ia
tak akan pernah berhenti.
Kurasakan pandanganku mulai mengabur dan sebelum
semuanya tampak gelap. Aku mengucapkan sesuatu, meskipun sangat susah.
“Tolong nanti pas kalian udah sampe kota. Ambil kamera
yang ada di tas carrier. Kasih. Ke perempuan yang namanya Gleeva.”
Dan tak lama kemudian, aku merasa gelap dan kosong.
Enam bulan silam.
Tanjakan yang mereka lalui semakin sulit karena
curamnya medan juga licinnya bebatuan yang menjadi pijakan mereka. Namun, semua
itu tak ayal membuat mereka patah semangat. Hingga tak lama kemudian, mereka
menemukan lahan kosong yang cocok untuk beristirahat. Salah seorang gadis yang
tergabung dalam tim pegiat alam tersebut memisahkan diri dari kerumunan. Tampak
dari wajahnya, ia sedang menahan sakit. Ketika ia duduk dan menggulung
celananya, terlihat kakinya sedikit memar. Melihat itu, seorang lelaki
menghampirinya.
“Heh heh! Mau ngapain kesini?” Ucap gadis itu menahan laki-laki
itu mendekat.
“Mau bantuinlah. Kaki kamu sakit kan?”
“Gak papa, gausah dibantuin. Nanti malah pegang-pegang
kaki aku. Bukan mahram juga.”
Bukannya merasa sombong, tapi baru kali ini bantuan
yang ditawarkannya ditolak oleh seorang gadis. Ia mengangguk mafhum.
“Tapi beneran? Atau mau carriernya mbak, saya
bawakan?” Tawaran lelaki itu tetap tidak mempan. Gadis itu kembali
menggelengkan kepalanya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan yang dirasa
tinggal satu jam lagi. Para pendaki itu mempercepat langkah mereka, karena tak
mau tertinggal dengan hadirnya mentari yang akan muncul tiga puluh menit lagi.
Hingga akhirnya, perjalanan mereka usai. Mereka berdiri diatas puncak
tertinggi, daratan tertinggi sepulau Jawa. Mereka berhasil menaklukan sang
Mahameru.
Gadis itu tersenyum bahagia. Rasa bangga menyerbak
dalam dirinya.
“Subhanallah. Semestanya indah banget.” Ucap gadis itu
membuat, lelaki disebelahnya menoleh.
“Kamu sebut saya indah?”
“Yah kamu lagi.” Gadis itu menatap malas seseorang disebelahnya,
“Bukan, ini maksudnya semesta. Bukan nama orang. Emang nama kamu semesta?”
Lelaki itu tersenyum, “Verdian Putra Semesta.”
“Namanya bagus.” Gadis itu kembali tersenyum tanpa
menatap semesta yang berada disampingnya, “Kenalin, aku Gleeva. Gleeva Anastasya.”
Tanpa mereka sadari, sesuatu sedang bekerja sama
dengan takdir. Menciptakan sebuah rasa. Manusia biasanya menyebut dirinya,
cinta.
Dua belas bulan kemudian.
“Gleeevaaa!” Aku menekan tombol pause pada kamera itu.
“Nonton apa sih? Kayanya sering banget aku liat kamu
nontonin itu.”
Aku tersenyum, “Liat Semesta.”
Ah iya, aku lupa. Kenalkan namanya, Arico Putra. Nama
yang sama dengannya bukan? Dia seseorang yang membantuku untuk kembali
melangkah saat berdiri saja susah untuk aku lakukan.
“Ayo kesana. Nadia juga Dania udah nunggu lama.:
Aku mengangguk, perlahan aku berdiri melangkah
meninggalkan kamera itu. Dania, Nadia? Buah hatiku dengan Rico.
Mungkin, dulu aku pernah merasa semestaku hilang
ketika dirinya yang bahkan lamarannya tidak aku terima. Ia sudah pergi dariku.
Aku menyesal teramat sangat. Tapi, pada gunung aku belajar. Semestaku tidak
benar-benar hilang, ia hanya sedang menungguku di tempat lain.
Semesta dalam kenangan.
“Hai, Gleev. Disini pukul lima. Aku sedang menunggu fajar
datang. Pemandangannya sungguh bagus. Ah, andaikan saja kamu boleh ikut pasti
dirimu sudah berloncat girang melihat semesta yang disuguhkan oleh Tuhan
dihadapanku ini. Ini adalah puncak yang mungkin paling indah selama aku pernah
menginjakkan kak di beberapa gunung.
Gleev, kamu tau? Aku sedikit tersinggung dengan
lamaranku yang kemarin kamu tolak. Aku bertanya pada diriku, kurang apa sih
aku? Yah kalo dibandingin sama Rico sih masih mending dia juga. Kalo cinta? Gak
bakal kurang, soalnya aku udah nyiapi celengan. Isinya cinta aku buat kamu.
Haha basi ya. Yaudah Gleev, aku masih setia nunggu jawaban iya dari kamu. Setia
banget. Kalo kamu mau nerima satu tahun lagi? Aku bakal tetap nunggu. Mau dua
tahun? Gak papa. Tiga tahun? Iya siap. Aku bakal nunggu sampe habis kontrakku
dibumi ini.
Kalo aku bilang, cintaku selamanya itu kayanya bohong
deh. Jadi penutupnya, cinta aku bakal tetap ada sampe ujung usia aku juga kamu.
Inget ya ini, rasaku gak pernah kadaluwarsa ga kayak produk kalengan yang ada
di pasar. Rasaku kaya pengawet kok, tahan lama juga tahan banting. YaAllah,
ngeri ah lama-lama. Oh iya keinget, satu rahasia yang selama ini aku tutupin
dari kamu. anggep aja ini sogokan ya dari aku, itung-itung nanti hatimu luluh.
Alasan kenapa aku dulu takut mendaki. Aku takut jatuh. Kena batu. Berdarah.
Penyakit yang gak bisa berhentiin pendarahan kamu tau kan? Iya itu hemofiia.
Bapak yang bikin aku trauma sama gunung. Karena saat ekspedisi juga bapak jatuh
dan ya kamu tau lah akhirnya gimana. Aduh kok aku malah jadi sedih sedih gini.
Yaudah ya Gleev, ini cuman video hasil gabut aku di puncak. Eh eh, lihat itu!
Fajarnya datang. fajar buat Gleeva! Haha. Dadah Gleev. Sun jauh ya, dari
Semestamu.